SURABAYA – Secara statistik, masih banyak kasus yang menunjukkan ketimpangan gender terutama dalam penerimaan upah di berbagai sektor pekerjaan. Menanggapi fenomena ini, Direktorat Kemitraan Global (DKG) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengadakan Guest Lecture Series (GLS) mengenai kesetaraan gender yang sebagai salah satu dari Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Kamis (10/3/2022) yang lalu.
Pemateri dalam sesi ini, Dr Sharon Wilson mengatakan sebelum membicarakan masalah kesetaraan gender, tak lengkap jika tanpa menyebut istilah feminisme. Di mana feminisme ini berawal dari keinginan perempuan untuk memegang, menghasilkan, dan menggunakan uangnya sendiri. “Karena apabila perempuan sudah mandiri secara keuangan, perempuan tentu akan bisa menjalani kehidupan yang stabil dan tidak perlu bergantung pada laki-laki, ” ujarnya.
Sharon melanjutkan, jika melihat dari asal muasal tersebut, sudah banyak progres yang menunjukkan bahwa perempuan telah mengisi berbagai lapangan pekerjaan. Namun, ketidaksetaraan antara gender masih terjadi. Misalnya, perempuan tidak dapat menempati suatu posisi tinggi hanya karena gendernya. “Anggapan laki-laki pasti lebih bisa memimpin masih melekat di masyarakat, ” ungkap asisten riset di Universiti Tunku Abdul Rahman ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut, akhirnya terjadi sebuah pembagian kerja yang didasarkan atas gender. Masih banyak orang merasa bahwa pekerjaan yang memerlukan dominasi dan kepemimpinan itu dikhususkan untuk laki-laki. Sedangkan perempuan didorong untuk bekerja di sektor domestik dan pendukung posisi laki-laki. Hal ini bisa dilihat dalam bidang kesehatan dimana perawat umumnya diisi oleh perempuan sedangkan dokter adalah laki-laki.
Melanjutkan hal tersebut, Sharon mengungkapkan, masih banyak perempuan yang bekerja di bidang domestik dengan gaji kecil hingga tidak dibayar. Selain itu, pekerjaan reproduktif seperti mencuci, pekerjaan rumah tangga, petugas kebersihan, bahkan menghasilkan keturunan masih sering menjadi tuntutan perempuan. Meskipun hal tersebut bukanlah yang mereka inginkan. “Ini termasuk ketidaksetaraan, karena pekerjaan reproduktif ini tidak dituntut kepada para laki-laki, ” terangnya.
Dr Sharon Wilson (kiri) mengisi materi dalam Guest Lecture Series (GLS) mengenai kesetaraan gender.
Menurut The World Economic Forum, diperlukan waktu 99, 5 tahun untuk menghilangkan kesenjangan upah antar gender secara global. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya partisipasi perempuan terutama yang mengisi kursi parlementer. Menurut Sharon, penyebab hal ini terjadi bukan karena perempuan yang tidak ingin masuk ke lapangan pekerjaan tersebut.
Perempuan yang fokus risetnya di women and identity ini menambahkan, namun, dikarenakan kurangnya kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke ranah tersebut. Hambatan ini tak hanya sistemik, namun juga datang dari masyarakat. “Bahkan, jika perempuan sudah menikah, suami yang melarang perempuan untuk mengembangkan karirnya, ” ungkap Sharon.
Meskipun begitu, menurut survei yang dilakukan oleh Women’s Aid Organisation (WAO) di Malaysia, 46, 3 persen menolak adanya ketidaksetaraan gender, 23, 8 persen mendukung, dan 21, 9 persen tidak yakin atas posisi mereka. Dari persentase tersebut, yang ragu dan mendukung ketidaksetaraan masih cukup banyak. Namun berdasarkan survei tersebut, sebagian besar yang mendukung berada di usia di atas 45 tahun.
Dari survei tersebut, Sharon merasa optimis bahwa besar kemungkinan masyarakat untuk lebih berkembang dan terbuka dalam berdiskusi terkait perjuangan kesetaraan gender. Oleh karena itu, perempuan pemegang titel PhD dalam Journalism, Communication, and Related Programs ini, Selasa (15/3/2022) mengharapkan universitas mau membuka diskusi terbuka terkait permasalahan ini. “Karena mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan itu pemenuhan hak asasi manusia, ” ucapnya penuh harap.(*)
Reporter: Muhammad Miftah Fakhrizal
Redaktur: Najla Lailin Nikmah